Suara klakson terdengar dari luar. Disusul dengan suara teralis
gerbang yang diseret dengan terburu-buru oleh Mang Ujang. Melia yang sedang
bertelekan di sofa sembari membaca majalah wanita segera beranjak ke arah
beranda depan. Ia tahu Arman suaminya telah pulang.
Seperti biasa, Arman memasukan mobil SUV merah metaliknya ke dalam
garasi dan Mang Ujang kembali menutup gerbang. Sementara Melia kembali duduk di
sofa dengan dada yang berdebar. Ia merasa ragu dengan apa yang akan ia lakukan.
Bahkan lihatlah, kedua tangannya terlihat gemetaran ketika ia mencoba
menuangkan minuman ke atas gelas bening untuk Arman.
Tak berapa lama Arman muncul dari arah pintu dan serta merta Melia
tersenyum padanya. ”Sudah pulang, Mas.”
Arman mengerutkan keningnya dan menatap Melia dengan tatapan penuh
selidik. Kemudian dengan acuh tak acuh melepas sepatunya dan merebahkan dirinya
di sofa.
“Mau minum?” tanya melia dengan nada gemetar. Sebenarnya ia ragu
apakah tawarannya terdengar tulus atau tidak. Sementara tangan kanannya sudah
siap mengambil gelas yang tergeletak di meja.
Arman menyipitkan matanya dan kembali menatap melia dengan tatapan
penuh selidik. ”Maksud lu apa sih?”
“Mas Arman cape kan? Barangkali mau dibuatkan kopi sama Melia?”
Kini Arman tertawa satir. ”Heh, lu kesurupan jin ya. Tumben
panggil gue mas. Gue nggak butuh basa-basi lu.” Dan ia bangkit dari sofa.
Berlalu dari hadapan Melia.
Melia mendengus kesal dan melempar bantal sofa. Ingin rasanya ia
membanting gelas yang ada di hadapannya itu. Ternyata saran Ustadzah Aminah tak
bisa ia kerjakan dengan baik. Gagal
total.
***
”Rasulullah adalah lelaki yang paling agung di dunia ini. Bahkan
ia yang paling baik budi pekertinya terhadap istrinya. Dalam beberapa riwayat
disebutkan bahwa Rasulullah sering membantu beberapa urusan domestik rumah
tangga yang biasa dikerjakan istrinya. Bahkan Rasulullah menambal sendalnya dan
menjahit bajunya sendiri.
Dalam riwayat yang lain disebutkan tak pernah sekalipun rasulullah
marah dan menghardik istrinya. Bahkan ketika istrinya marah, rasulullah
membalasnya dengan senyum dan canda.”
Melia mendengarkan penuturan ustadzah aminah dengan hati yang
gerimis. Sebetulnya hatinya menangis. Andai saja Arman suaminya bisa bersikap
manis layaknya Rasulullah terhadap istrinya. Ah, bukan begitu! Andai saja ia
tidak dijodohkan dengan Arman oleh orang tuanya. Andai saja ia jadi menikah
dengan Fatih yang telah bersemayam di singgasana hatinya sejak zaman putih
abu-abu dulu. Tapi apa hendak dikata, takdir telah berkata lain.
Melia berusaha mengenyahkan semua bisik hatinya dan kembali
menyimak penuturan Ustadzah Aminah yang menjelaskan bagaimana membentuk
keluarga sakinah dan peran istri dalam mendukung suami.
Tak terasa waktu kajian sudah habis. Para jamaah ibu-ibu yang
notabene para penghuni perumahan Puri Asri itu sudah bubar sejak sepuluh menit
yang lalu. Sementara Melia masih duduk di teras masjid dan sesekali melongok ke
dalam masjid. Matanya melihat Ustadzah Aminah yang masih berbicara dengan
seorang ibu paruh baya yang sedang berkonsultasi.
Sepuluh menit kemudian Ustadzah Aminah keluar dari masjid dengan
menenteng tas putihnya. Serta merta melia menghampirinya dan menyalamaninya.
”Assalamualaikum Bu Ustadzah.”
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Ada yang bisa saya
bantu mbak?”
Melia menghela nafas. ”Saya ingin curhat sama ibu. Tapi tidak
disini. Kalau sekiranya boleh, kapan-kapan saya ingin berkunjung ke rumah ibu.
Itu pun kalau ibu punya waktu.”
Ustadzah Aminah tersenyum. ”Tentu saja mbak. Eh, dengan mbak siapa
ini?”
“Melia.”
“Oke mbak Melia...” ustadzah Aminah merogoh tas putihnya, ”Ini
kartu nama saya. Mbak bisa datang hari rabu atau hari jumat. Insya Allah saya
di rumah dan waktunya juga longgar.”
Melia menerima kartu nama itu dengan antusias. ”Terimakasih banyak
Bu Ustadzah.”
“Iya sama-sama. Pokoknya jangan sungkan-sungkan ya. Tapi kalau mau
berkunjung hubungi saya dulu ya.” ujar Ustadzah Aminah dengan senyum
mengembang. ”Saya duluan ya Mbak. Assalamualaikum...”
“Waalaikum salam.”
Melia menimang-nimang kartu nama itu dan tersenyum tipis. Semoga
menjadi awal yang baik untuk niat yang baik Ya Allah
***
“Saya turut prihatin dengan masalah yang Mbak Melia hadapi. Tapi
saran saya, cobalah mbak untuk bisa bersikap baik di hadapan suami Mbak Melia.
Karena bisa jadi tidak ada yang mau mengawali itikad baik diantara Mbak dan
suami.”
Melia menganggukan kepala. ”Inya Allah saya akan mencobanya.” Ia
sadar, selama ini ia tak pernah merasa perlu untuk mengawali komunikasi yang
baik dengan Arman. Sikap buruk Arman ia balas dengan keburukan yang serupa.
“Dan satu hal yang jangan dilupakan. Perkuat kesabaran ketika
menghadapi suami Mbak Melia. Bisa jadi sulit untuk mengawali komunikasi yang
baik setelah sekian lama terjadi kerenggangan. Tapi tak ada yang mustahil untuk
merubahnya.”
Melia kembali mengangguk.
“Ini saya punya buku bagus untuk bahan referensi mbak.” Ustadzah
Aminah menyodorkan sebuah buku berukuran sedang dengan cover berwarna merah
jambu. Di covernya tertulis; Jurus Jitu Memikat Hati Suami.
***
Hari masih pagi ketika Melia menghidangkan sarapan di meja. Ia
kembali menatap kalender yang terpampang di dinding. Tidak salah lagi, ini hari
sabtu. pastinya Arman akan berangkat lebih pagi dari biasanya karena ada apel
pagi di kantornya. Melia kembali berkutat dengan urusan meja makan. Kali ini ia
menuangkan susu panas ke dalam teko.
Tak berapa lama Arman keluar dari kamarnya dengan sikapnya yang
acuh.
“Sarapan dulu, mas.”ujar Melia dengan senyum yang mau tak mau
harus ia paksakan bertengger di bibirnya.
Arman kembali melipat keningnya demi melihat meja makan yang
berbeda dari biasanya.
“Barangkali mas Arman bosan makan di kantin kantor. Sesekali boleh
dong nyobain masakan Melia.” tawar Melia masih dengan senyum yang sama. “Pagi
ini aku memasak tempe bacem dan ayam penyet kesukaan mas.”
Arman mendengus. ”Lu maunya apa sih Mel. Sejak kapan lu belajar
sandiwara?”
Senyum Melia pudar seketika. ”Saya bukan sedang bersandiwara mas.
Saya hanya ingin mencoba menjadi istri yang baik.”
“Persetan! Lagi pula apa yang saya harapkan dari istri macam kamu.
Tak ada!”
”Ya sudah! Gue nggak maksa kok!” seru Melia dengan ketus. Kali ini kesabarannya sudah habis. Gagal
sudah usahanya pagi ini. Padahal sejak kemarin ia mempersiapkannya. Dari mulai
bertanya kepada mertua tentang masakan kesukaan Arman. Nyatanya, masakan yang
susah-susah ia buat tak tersentuh sama sekali.
Arman kembali mendegus dan berlalu dari hadapan Melia.
Oh my God! Kenapa aku tak bisa sabar? Harusnya aku tak perlu
menjawabnya ketus. Melia benar-benar menyesal
dengan kata-katanya barusan
Tak berapa lama Arman kembali ke dalam kamar. Ia tampak seperti
kebingungan mencari sesuatu. Beberapa kali ia membuka pintu lemari dan
menyingkap semua gantungan bajunya. Melia hanya tersenyum dan menatap geli.
”Mas mencari jas hitam itu kan?”
Arman menatap melia curiga. ”Lu sudah pintar membuat gue kesal ya!
Lu sembunyiin?”
“Tadi pagi aku setrika. Soalnya udah kelihatan kusut banget.”
jawab Melia enteng. Ia beranjak menuju sandaran sofa dan mengambil jas hitam
yang tergeletak di sana. ”Nih!”
Arman mengambilnya dengan sentakan kasar dan mengenakannya.
Tampaknya ia salah tingkah dan merasa tidak nyaman dengan semua “sandiwara”
Melia pagi ini.
Arman kembali menuju ruang depan. Mengambil tas hitamnya dan
kembali dibuat “shock” ketika ia hendak meraih sepatu pantofel hitam di rak
sepatu. Sepasang sepatu yang biasa ia pakai telah hitam legam oleh polesan
semir. Diam-diam ekor mata elangnya menatap Melia yang pura-pura sibuk di meja
makan.
Arman menghela nafas dan berlalu menuju halaman depan. Sejak dua
puluh menit yang lalu Mang Ujang sudah mengeluarkan SUVnya dan memanaskan
mesinnya. Ia menatap arlojinya, terlambat sepuluh menit dari jadwal berangkat.
Maklum, ia bangun agak kesiangan hanya gara-gara tidur larut demi menonton
pertandingan Liga Inggris semalam.
Selama perjalanan menuju kantor, benak Arman masih sibuk
memikirkan tentang sandiwara pagi yang dimainkan Melia tadi. Diam-diam hatinya
yang selama ini jumawa mulai goyah. Benarkah Melia bersandiwara?
***
Hari minggu yang cerah.
“Kopinya mas.” Melia mengangsurkan secangkir kopi hitam di atas
meja kecil. Ia juga tahu suaminya maniak kopi hitam. Bagaimana tidak tahu,
hampir tiap pagi suaminya membuat kopi hitam. Tapi kali ini Melia berusaha
membuatkan kopi hitam sebelum Arman membuatnya sendiri.
Arman menatap Melia. Bukan dengan tatapan penuh selidik. Bukan
pula tatapan yang mengejek. Tapi tatapan yang ganjil dengan perasaan yang
sama-sama ganjil. ”Terimakasih.”ujarnya yang nyaris tak terdengar. Hanya
gumaman kecil yang hampir tercekar di kerongkongannya. Bahkan ia sendiri tak yakin bisa mengucapkan
ungkapan itu di hadapan Melia. Ia meyeruput kopi tersebut. Entah kenapa, kali
ini ia merasakan sensasi yang berbeda dari kopi hitam itu.
“Mel!”
“Ya?”melia menelengkan wajahnya dan meletakan koran di meja.
”Kopinya kurang gula ya?” tanya melia penuh selidik.
Arman tersenyum. Ini adalah senyum pertamanya untuk Melia
istrinya. Senyum yang mampu menggetarkan relung hari Melia. Senyum sebagai
tanda bahwa Melia berhasil menjalankan “misinya” sebagai istri yang berbakti.
“Kok malah senyum-senyum sih?”
“Nggak. Cuma kok kopinya manis banget. Kayak kamu.”
Kali ini melia tersipu. Pipinya merona merah layaknya seorang
remaja putri yang mengalami cinta pertamanya.
Ceritanya bagus. Tapi kenapa nama-nama orangnya pakai huruf kecil Min? hehe.. Jangan lupa kunjungi blogku ya? aku juga nulis tentang kopi. Haha tapi jangan kaget ya? karena masih belum sekaliber JK. Rowling.. :D
ReplyDeletehttp://chaedarrizal.blogspot.co.id/2016/08/romeo-juliet-dan-kopi-jahe.html
punya gue juga dong tolong kunjungi
DeleteTerimakasih sudah berkunjung. iya nih, soalnya buru-buru nngetiknya. hehe
Deleteceritanya bagus. oh ya jangan lupa kunjungi blogku juga ya, gue juga ikutan lomba ini. thanks :D
ReplyDeleteok, insya allah nanti saya mampir di blognya mas dn mbak :D
Deleteok, insya allah nanti saya mampir di blognya mas dn mbak :D
DeleteMasukkan komentar Anda...
ReplyDelete